Selasa, 22 Desember 2015

4 Imam Madzhab, Fase Peralihan

Selain berfungsi sebagai madrasah ilmu dan pengetahuan, madzhab yang empat adalah madrasah yang mengajarkan akhlak, budi pekerti, dan kepribadian. Ini jika kita benar dalam membaca, tidak hanya pada karya para Imam itu, namun pada biografi dan pola hidup mereka.

Dari kehidupan mereka kita menemukan sebuah prinsip “menjaga identitas” dengan berkomitmen pada Islam, baik dalam keyakinan, cara beribadah, etika, dan pola hidup. Ini adalah rahasia kejayaan umat dan kekuatannya. Islam menjadi titik tolak segala eksplorasi ilmu dan kebudayaan.

Di sisi lain kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia senantiasa berdinamika, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, hubungan sosial manusia pun semakin meluas. Hal ini menuntut adanya penyikapan yang tepat serta tidak bertentangan dengan norma syariat.

Fase empat Imam seakan berada pada fase peralihan, Allah telah menyiapkan mereka untuk mematangkan kaidah-kaidah sebagai pijakan dalam menghadapi era keterbukaan setelah mereka. Karenanya, tidak berlebihan kalau kita sebut sebagai kesepakatan secara umum bahwa seluruh kaum muslimin mengembalikan urusan syariah mereka kepada empat madzhab ini. Bukan tanpa alasan, selain karena komitmen mereka terhadap dalil, juga karena akhlak yang mereka tunjukkan. Setidaknya dua hal ini yang melahirkan kepercayaan dan menuai simpati.

Sebuah pondasi
Kalau dihitung semua pendapat empat Imam madzhab, maka akan kita dapati bahwa kesamaan mereka lebih banyak daripada perbedaannya. Hanya karena yang selalu menjadi pembahasan kita sisi perbedaan mereka, maka terkesan mereka selalu saja berselisih pendapat. Ya, hanya dalam masalah-masalah cabang saja mereka berselisih pendapat, tidak dalam pokok atau akar permasalahan agama.

Yang perlu kita camkan adalah bahwa perselisihan yang terjadi di antara mereka pun bukan seperti yang sering terjadi pada diri kita. Sebelum mereka mengemukakan pendapat, terlebih dahulu mereka timbang dengan dalil dan kaidah yang mereka yakini keshahihannya. Sehingga pendapat yang berseberangan dengan pendapat Imam yang kita anut tidak bisa kita sebut sebagai ketergelinciran atau pendapat yang ‘nakal’. Ya, karena mereka tidak asal-asalan, tidak ngawur, tidak pula berprinsip ‘yang penting beda’.

Yang pasti kita belajar dari perbedaan pendapat mereka bahwa permasalahan tersebut adalah masalah yang boleh berbeda pendapat di dalamnya. Seakan mereka sepakat untuk tidak sepakat dalam masalah itu. Karenanya kita tidak mendapati mereka saling menyalahkan atau mengingkari pendapat lain.

Pada saat Abu Ja’far al-Mansur meminta Imam Malik untuk menjadikan Muwaththa’ dan madzhabnya sebagai madzhab di seluruh negeri beliau berkata, “Jangan engkau lakukan ini, masyarakat sudah mengenal banyak pendapat, mendengar banyak hadits dan meriwayatkannya. Masing-masing sudah mengambil pendapat yang sampai ke mereka terlebih dahulu dan mengamalkannya, mereka telah meneladani para sahabat dan lainnya. Akan sulit mengembalikan mereka dari keyakinan itu. Biarkan mereka dengan keadaan seperti itu, dan biarkan masing-masing negeri memilih yang tepat untuk mereka.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku tidak bahagia jika dulu para sahabat tidak pernah berselisih pendapat, karena kalau mereka tidak berselisih niscaya tidak ada rukhsoh (keringanan).”

Suatu ketika Ishaq bin Buhlul al-Anbari datang kepada Imam Ahmad seraya berkata, “Aku telah mengumpulkan perbedaan-perbedaan ulama dalam buku ini dan aku beri judul “Kitabul Ikhtilaf” atau buku perbedaan.” Imam Ahmad menimpali, “Jangan kau beri judul demikian, namakan saja “Kitabus Sa’ah” atau buku kelonggaran.”


Dari beberapa potongan kisah di atas kita bisa merasakan bagaimana para Imam itu mencoba untuk membuat fondasi yang kokoh dalam menyikapi perbedaan furu’ dalam Islam. Saatnya kita membaca buku-buku fiqih dengan sudut pandang ini untuk kembali kita merasakan dalamnya ilmu dan akhlak para Imam kita rahimahumullah jami’an. []

Artikel ini dibuat untuk www.madina.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar