Selain berfungsi sebagai madrasah
ilmu dan pengetahuan, madzhab yang empat adalah madrasah yang mengajarkan
akhlak, budi pekerti, dan kepribadian. Ini jika kita benar dalam membaca, tidak
hanya pada karya para Imam itu, namun pada biografi dan pola hidup mereka.
Dari kehidupan mereka kita
menemukan sebuah prinsip “menjaga identitas” dengan berkomitmen pada Islam,
baik dalam keyakinan, cara beribadah, etika, dan pola hidup. Ini adalah rahasia
kejayaan umat dan kekuatannya. Islam menjadi titik tolak segala eksplorasi ilmu
dan kebudayaan.
Di sisi lain kita tidak bisa
memungkiri bahwa dunia senantiasa berdinamika, ilmu pengetahuan dan teknologi
terus berkembang, hubungan sosial manusia pun semakin meluas. Hal ini menuntut
adanya penyikapan yang tepat serta tidak bertentangan dengan norma syariat.
Fase empat Imam seakan berada
pada fase peralihan, Allah telah menyiapkan mereka untuk mematangkan
kaidah-kaidah sebagai pijakan dalam menghadapi era keterbukaan setelah mereka. Karenanya,
tidak berlebihan kalau kita sebut sebagai kesepakatan secara umum bahwa seluruh
kaum muslimin mengembalikan urusan syariah mereka kepada empat madzhab ini.
Bukan tanpa alasan, selain karena komitmen mereka terhadap dalil, juga karena
akhlak yang mereka tunjukkan. Setidaknya dua hal ini yang melahirkan
kepercayaan dan menuai simpati.
Sebuah pondasi
Kalau dihitung semua pendapat
empat Imam madzhab, maka akan kita dapati bahwa kesamaan mereka lebih banyak
daripada perbedaannya. Hanya karena yang selalu menjadi pembahasan kita sisi
perbedaan mereka, maka terkesan mereka selalu saja berselisih pendapat. Ya,
hanya dalam masalah-masalah cabang saja mereka berselisih pendapat, tidak dalam
pokok atau akar permasalahan agama.
Yang perlu kita camkan adalah
bahwa perselisihan yang terjadi di antara mereka pun bukan seperti yang sering
terjadi pada diri kita. Sebelum mereka mengemukakan pendapat, terlebih dahulu
mereka timbang dengan dalil dan kaidah yang mereka yakini keshahihannya.
Sehingga pendapat yang berseberangan dengan pendapat Imam yang kita anut tidak
bisa kita sebut sebagai ketergelinciran atau pendapat yang ‘nakal’. Ya, karena
mereka tidak asal-asalan, tidak ngawur, tidak pula berprinsip ‘yang penting
beda’.
Yang pasti kita belajar dari
perbedaan pendapat mereka bahwa permasalahan tersebut adalah masalah yang boleh
berbeda pendapat di dalamnya. Seakan mereka sepakat untuk tidak sepakat dalam
masalah itu. Karenanya kita tidak mendapati mereka saling menyalahkan atau
mengingkari pendapat lain.
Pada saat Abu Ja’far al-Mansur
meminta Imam Malik untuk menjadikan Muwaththa’ dan madzhabnya sebagai madzhab
di seluruh negeri beliau berkata, “Jangan engkau lakukan ini, masyarakat sudah mengenal
banyak pendapat, mendengar banyak hadits dan meriwayatkannya. Masing-masing
sudah mengambil pendapat yang sampai ke mereka terlebih dahulu dan
mengamalkannya, mereka telah meneladani para sahabat dan lainnya. Akan sulit
mengembalikan mereka dari keyakinan itu. Biarkan mereka dengan keadaan seperti
itu, dan biarkan masing-masing negeri memilih yang tepat untuk mereka.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku
tidak bahagia jika dulu para sahabat tidak pernah berselisih pendapat, karena
kalau mereka tidak berselisih niscaya tidak ada rukhsoh (keringanan).”
Suatu ketika Ishaq bin Buhlul al-Anbari datang kepada Imam Ahmad seraya berkata, “Aku telah mengumpulkan perbedaan-perbedaan ulama dalam buku ini dan aku beri judul “Kitabul Ikhtilaf” atau buku perbedaan.” Imam Ahmad menimpali, “Jangan kau beri judul demikian, namakan saja “Kitabus Sa’ah” atau buku kelonggaran.”
Dari beberapa potongan kisah di
atas kita bisa merasakan bagaimana para Imam itu mencoba untuk membuat fondasi
yang kokoh dalam menyikapi perbedaan furu’ dalam Islam. Saatnya kita membaca
buku-buku fiqih dengan sudut pandang ini untuk kembali kita merasakan dalamnya
ilmu dan akhlak para Imam kita rahimahumullah jami’an. []
Artikel ini dibuat untuk www.madina.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar